Sabtu, 21 Mei 2011

Kenapa Umat Islam Benci Yahudi

Dalam tulisan ini, kami akan tunjukkan kepada siapa yang ingin mengetahui siapa sebenarnya Yahudi, berikut sifat-sifat buruk mereka yang telah direkam dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabawiyah. Kami tuliskan ini sebagai bagian nasihat kepada kaum muslimin agar tidak tertipu oleh syetan, dan tidak tertipu oleh orang munafik yang suka berlaku dusta dan berpura-pura. Kita memusuhi mereka karena disebabkan kekufuran, kefasikan dan kedzaliman mereka, baik dunia menyetujinya atau tidak, baik mereka menampakkan permusuhan atau persahabatan terhadap kita. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah membongkar isi hati mereka.

Dan memang seharusnya umat Islam tidak rela negeri mereka dijadikan ajang perayaan HUT kemerdekaan Negara penjajah Israel yang suka menumpahkan darah umat Islam.

Yahudi dalam Al-Qur'an

1. Yahudi adalah orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang mukmin. Termasuk juga orang-orang Nashrani yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah adalah satu dari yang tiga," dan orang-orang yang mengatakan, "Sesungguhnya Allah itu adalah Al-Masih Ibnu Maryam. Allah berfirman tentang mereka,

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (QS. Al-Maidah: 82)

2. Mereka kufur kepada Allah dan para rasul-Nya serta membedakan antara beriman kepada Allah dan kepada para rasul.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasu-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan." (QS. Al-Nisa': 150-151)

3. Yahudi mengingkari para Nabi, mencela dan merusak kehormatan mereka serta kehormatan hamba-hamba Allah yang shalih dan shalihah.

وَبِكُفْرِهِمْ وَقَوْلِهِمْ عَلَى مَرْيَمَ بُهْتَانًا عَظِيمًا

"Dan karena kekafiran mereka (terhadap Isa), dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar (zina)." (QS. Al-Nisa': 156)

Harkitnas dan Boedi Oetomo dalam Bayang-bayang Freemason & Theosofi

Harkitnas dan Boedi Oetomo dalam Bayang-bayang Freemason & Theosifi
Oleh: Artawijaya*



Setiap tanggal 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908. Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?

Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908. Tahun berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional. Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.

Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa “cita-cita Pan-Islamisme” telah digantikan oleh nasionalisme.” Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.

Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa Sanskerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama. Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.

….Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam….

Senin, 09 Mei 2011

 Demokrasi

DEMOKRASI (democracy) adalah satu sistem politik dan sosial yang timbul di Barat, yang dikenal oleh peradaban Barat modern dari peradaban Yunani kuno dan pengembangannya dilakukan oleh kebangkitan Barat modern dan kontemporer ini. la membangun hubungan antar individu masyarakat dan negara yang sesuai dengan prinsip persamaan antar negara dan keikutsertaan mereka secara bebas dalam membuat undang-undang hukum yang mengatur kehidupan umum, yang mengacu pada prinsip yang mengatakan bahwa rakyat adalah pemilik kekuasaan dan sumber hukum, (The voice of people is the voice of God-ini Kabbalah). Kekuasaan rakyat menurut pandangan sistem demokrasi, adalah milik rakyat dan melalui rakyat pula untuk mencapai kedaulan rakyat, tujuan-tujuannya, dan kepentingan-kepentingannya.84)

Sedangkan sistem perwakilan (representative), di mana para wakil rakyat terpilih mewakili rakyat untuk menjalankan tugas-tugas kekuasaan legislatif, mengawasi, dan meminta pertanggungjawaban kekuasaan eksekutif adalah perangkat demokrasi yang menjadi penyambung bagi demokrasi langsung --di mana rakyat melakukan secara langsung-- semua tugas-tugas kekuasaan ini dalam rangka mewujudkan tujuan-tujuan demokrasi.

Bagaimanakah prinsip Islam terhadap demokrasi, apakah menerima secara mutlak, atau menolak mentah-mentah, atau menerima dengan beberapa catatan? Sebaiknya kita melakukan pengamatan khusus bahwa Islam --dalam masalah-masalah hidup, keorganisasian, sistem dan sarana yang dipakai untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan filsafatnya-- tidak selalu menutup bagi semua yang datang dari luar dan asing, begitu pula tidak senantiasa menerima apa yang datang dari luar tanpa memahami dan melakukan ijtihad. Jika ijtihad adalah satu metodologi dalam pemikiran Islam maka sepatutnya ijtihad ini terdapat dalam pemikiran demokrasi. Jika sebagian orang mengganti demokrasi dengan syura, maka pandangan Islam yang obyektif dan pengamatan yang menukik atas hubungan antara syura dan demokrasi akan menemukan titik temu dan titik pisah sekaligus.

Dilihat dari perangkat jalan dan sistem yang mengantarkan pada pencapaian tujuan masing-masing: demokrasi dan syura, ia merupakan pengalaman empirik manusia, tidak ada di dalamnya ketentuan-ketentuan suci yang memberi batasan perkembangan dalam pengalaman demokrasi dan perkembangannya itu sesuai dengan jaman, tempat dan kondisi. Pengalaman yang diperoleh demokrasi dalam perkembangan peradaban Barat, yang kemudian melahirkan sistem perwakilan serta pewakilan melalui pemilihan, adalah pengalaman yang sarat dengan aset manusia yang tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ia merupakan pengembangan pencapaian yang telah dikenal oleh peradaban Islam sejak masa awal berupa perangkat bai'at dan pengalamannya.

Sedangkan titik pisah antara syura Islam dan demokrasi Barat, secara jelas berkisar pada: hak milik siapa prinsip kekuatan legislatif? Demokrasi menjadikan kedaulatan prinsip kekuasaan legislatif milik rakyat, baik secara terbuka atau dalam bentuk apa yang diistilahkan oleh para pakar demokrasi dengan undang-undang alamiah (natural law) yang mewakili, menurut pandangan mereka, dasar-dasar fitrah manusia. Kekuasaan dan begitu juga kedaulatan --dalam sistem demokrasi-- adalah hak wewenang manusia: umat dan rakyat. Sedangkan dalam sistem syura Islam, kedaulatan hukum, pada prinsipnya hak wewenang Allah yang termanifestasikan dalam syari'ah, yang merupakan buatan Allah, bukan hasil upaya manusia maupun pemberian alam. Wewenang dan hak manusia dalam pembuatan hukum --kekuasaan legislatif--- hanyalah kewenangan yang dibangun diatas syari'ah ilahiah ini dan penjabarannya; merumuskan hukum-hukum dari prinsip-prinsipnya; dan merinci prinsip-prinsip umumnya. Begitu pula manusia ini mempunyai kewenangan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang belum ditentukan oleh ketentuan samawi, dengan syarat kewenangan manusia itu tetap tunduk pada kerangka filsafat Islam tentang hukum.

Oleh sebab itu, Allah, menurut visi Islam, adalah syari' --pemilik otoritas hukum-- (grand legislator) bukan manusia. Sedangkan manusia adalah faqih (yang memahami hukum itu). Sebab, prinsip-prinsip syari'ah, dasar-dasarnya, ketentuan-ketentuannya dan filsafat ilahiahnya tercermin di dalamnya kedaulatan Allah. Dengan menjadikan syari'ah sebagai acuan dasar baik penjabaran, pengembangan, pembaruan, perincian dan ijtihad atas tuntutan-tuntutan modernitas, adalah suatu pemahaman dan perumusan hukum yang tercermin di dalamnya kewenangan manusia yang dibatasi dengan kedaulatan hukum Allah. Demikianlah perbedaan nyata antara sistem syura Islam dan demokrasi Barat. Perbedaan ini memiliki hubungan erat dengan pandangan masing-masing kedua peradaban --Barat dan Islam-- tentang batas-batas kewenangan Tuhan dan batas-batas kewenangan manusia dan Tuhan.

Menurut pandangan filsafat Yunani kuno, khususnya Aristoteles (384-322 SM) diketahui bahwa Allah telah menciptakan alam kemudian dibiarkan berbuat sesuai dengan tabiat dan hukum-hukum alam ini tanpa campur tangan atau pengawasan Tuhan secara terus menerus. Pandangan tentang batas-batas hak urusan Tuhan ini ditemukan dalam kebangkitan Barat sekular berdasarkan pada prinsip Injil yang menjadikan "Hak Kaisar untuk Kaisar dan hak Tuhan untuk Tuhan" (Render unto Caesar what the Caesar's and unto God what the God's). Lalu terjadi pemisahan antara kerangka kewengan urusan Tuhan yang berhenti pada batas penciptaan dan kerangka urusan manusia yang diberi kewenangan dalam menangani proses pemakmuran di muka bumi, tanpa ada ikatan-ikatan dari kedaulatan Tuhan atas kewenangan dan kedaulatan manusia ini. Sebab manusia, menurut pandangan filsafat Barat ini mempunyai kewenangan legislatif serta kewenangan eksekutif. Sementara dalam pandangan Islam, Allah adalah satu-satunya pemegang otoritas ini, sebagaimana firman-Nya: "Hanya milik-Nya hak menciptakan dan memerintah." (al-A'raaf: 54). Jadi urusan Tuhan tidak hanya berhenti pada penciptaan tetapi juga memerintah yang tercermin dalam syari'ah yang diturunkan agar menjadi kerangka, dan Dia mengajak manusia untuk berpegang pada kerangka ini dalam hidupnya.

Karena pandangan Islam tentang kedudukan manusia di bumi tidak menjadikan manusia ini sebagai penguasa bumi melainkan mamandangnya sebagai khalifah (pembawa amanat kekhalifahan) dari sang Penguasa bumi, maka Islam memandang khalifah ini berada dibawah aturan --dalam melaksanakan tugas kekhalifahan (istikhlaf) dan memakmurkan bumi-- dengan ketentuan ikatan janji, yang dengan meminjam ungkapan Muhammad Abduh (1849-1905):

"Manusia adalah seorang hamba bagi Allah sendiri dan penguasa atas segala sesuatu setelah Dia."

Manusia menurut pandangan Islam: bebas, berkemampuan, berkehendak, dan berkesanggupan, dalam kapasitasnya sebagai khalifah Allah yang Maha Kuasa, tanpa batas. Maka kewenangan dalam sistem hukum Islam pada prinsipnya merupakan kedaulatan ilahi yang tercermin dalam syari'ah samawi. Sedangkan hak manusia dalam membuat hukum adalah kewenangan memahami dan menurunkan aturan-aturan hukum tersebut dengan syarat tidak keluar dari batas-batas kerangka syari'ah atau semangat filsafatnya.

Inilah sisi batasan dan garis-garis yang membedakan antara sistem syari'ah Islam dan demokrasi Barat. Sedangkan di luar itu di antaranya membangun hukum dan kewenangan atas dasar persetujuan umat dan pandangan mayoritas serta orientasi pandangan umum, di samping menjadikan otoritas dalam memilih penguasa, mengawasi dan meminta pertanggungjawaban serta memberhentikan mereka adalah hak umat, begitu pula memilih perangkat dan cara-cara perwakilan untuk membentuk institusi yang mewakili kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, secara umum merupakan bidang persamaan antara demokrasi Barat dan syura Islam.

Demikian pula halnya dengan prinsip pemisahan antara ketiga kekuasaan: legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang merupakan prinsip yang dikenal dalam sistem demokrasi Barat, adalah aspek-aspek yang dapat diterima oleh syura Islam. Bahkan barangkali pengalaman peradaban Islam telah berjalan lebih jauh dari yang dilalui oleh peradaban Barat. Maka suatu hal yang mungkin --menurut pandangan Islam-- membedakan kekuasaan ijtihad dan legislatif dari kekuasaan Ahlul Halli wal 'aqdi (people of binding and loosing) --yang memilih kekuasaan eksekutif, mengawasinya serta meminta pertanggungjawabannya.

Dalam hal ini menjadikan kedaulatan hukum diatas kekuasaan negara (the rule of law) sebagai satu kenyataan dalam bentuk praktik, tidak seperti yang terjadi dalam pengalaman demokrasi yang mana kekuasaan legislatif tunduk pada parlemen yang terdiri dari mayoritas anggota partai yang berkuasa dan yang tunduk pada kekuasaan legislatif. Sebab lembaga parlemen bagi partai berpihak pada kekuasaan eksekutif hingga pada tingkat di mana membuat kewenangannya lebih banyak hanya bersifat simbolis formal. Sedangkan otonomi kekuasaan khusus dalam melakukan ijtihad yang merumuskan hukum, dengan tetap komitmen pada kedaulatan syari'ah ilahiah, lebih dekat kepada prinsip pemisahan hakiki antara kekuasaan-kekuasaan itu dan lebih dapat merealisasikan kedaulatan hukum (rule of law) atas kekuasaan-kekuasaan yang ada.

Dengan demikian dapat dengan jelas dilihat titik temu dan titik pisah antara sistem syura Islam dan sistem demokrasi Barat. Dapat dilihat bagaimana bidang luas menjadi titik temu antara keduanya, khususnya perangkat-perangkat, cara-cara dan institusi-institusi, dengan perbedaan yang terletak pada masalah kedaulatan prinsip hukum yang dijadikan oleh demokrasi Barat sebagai hak wewenang manusia secara terbuka atau dibawah nama "hukum alamiah", sementara dijadikan oleh sistem syura Islam sebagai hak wewenang Allah dengan tidak ada larangan bagi manusia malakukan perumusan undang-undang dan hukum dalam kerangka batas-batas syari'ah ilahiah, dalam semangat dan dasar-dasar umumnya.

Sistem syura pada hakikatnya merupakan satu terma yang diambil dari kata: musyawarah. Sedangkan musyawarah berarti mengeluarkan pendapat. Maka dengan sendirinya mengeluarkan pendapat dimasukkan ke dalam perangkat-perangkat itu. Oleh sebab itu, musyawarah tidak mungkin menjadi lawan bagi perangkat demokrasi. Adapun perbedaan antara keduanya datang dari persoalan yang difungsikan di dalamnya perangkat-perangkat ini dan dalam wilayah operasional perangkat-perangkat ini. Sementara sistem demokrasi tidak mengenal batasan-batasan ilahiah tentang kewenangan operasional pendayagunaan perangkat-perangkat ini, sistem syura Islam memiliki kelebihan antara dua wilayah urusan: urusan yang menjadi hak wewenang Allah, yakni hak mengurusi hanyalah khusus wewenang Allah, dan urusan yang menjadi hak kewenangan manusia yakni hak mengurusi yang menjadi kesanggupan manusia dan di dalam wewenangnya inilah merupakan wilayah syura:

"Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka." (asy-Syuura: 38)

"Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan-urusan itu." (Ali Imran: 159)

Manusia dalam kapasitasnya sebagai pengemban khilafah dari Allah, urusan dan kewenangannya dibatasi oleh ketentuan-ketentuan kerangka urusan dan kewenangan Allah, yang merupakan kedaulatan dan batas-batas syari'at-Nya.

Pada aspek acuan, filsafat, dan batasan-batasan terdapat perbedaan antara sistem syura dan demokrasi dan perbedaan ini tidak terdapat pada perangkat. Begitu pula terdapat perbedaan antara keduanya pada bagian tujuan dan sasaran. Demokrasi sebagai satu pemikiran buatan manusia dan sebuah filsafat mundane (filsafat duniawi) tidak mengarahkan pandangan mata lebih jauh dari sekedar mengantisipasi kebaikan duniawiah manusia, dengan kriteria duniawiah terhadap kebaikan ini. Sedangkan sistem syura, sebagai ketentuan ilahiah, memadukan antara kebaikan duniawi dan kebahagiaan akhirat, maka kebaikan duniawi diberi muatan agama yang tercermin dalam kriteria agama terhadap kebaikan ini.


Dikutip dari : Perang Terminologi Islam versus Barat - Muhammad 'Imarah