Jumat, 29 April 2011

Refleksi Hari Pendidikan Indonesia. Ironi Melihat Realita.

Bukan menjadi hal biasa, Indonesia selalu dihadapkan dengan permasalahan yang begitu pelik. Ironis namun tetap menjadi bahan pembicaraan oleh berbagai kalangan terutama kalangan berpendidikan. Pendidikan di Indonesia, setelah 65 tahun merdeka Indonesia belum bisa menghadirkan pendidikan yang berkualitas. Hal ini terlihat dari moral para pemudanya yang semakin hari semakin mengalami kemerosotan. Perlu kita amati, peran lembaga pendidikan untuk membentuk generasi yang bermoral baik dan berparadigma ke depan sangatlah kurang. Banyak sekali angka putus sekolah dan pengangguran yang tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 20% hanya bisa memperbaiki penghasilan para tenaga pengajarnya saja. Belum dengan infrastruktur sekolah yang mengalami penyusutan akibat bertambahnya usia infrastruktur tersebut.
Agaknya yang perlu diperbaiki bukan dari infrastruktur sekolah itu sendiri. Akan tetapi mental para pejabat pemerintahanlah yang harus diperbaiki. Eksekutif yang berusaha mewujudkan pendidikan yang baik tidak diimbangi dengan tindakan dan perilaku para legislatif kita yang katanya wakil rakyat malah tidur di rapat paripurna.
Infrastruktur yang rusak ini tidak hanya terjadi di satu daerah saja. Akan tetapi banyak daerah merasakan kerusakan infrastruktur ini. "Mari kita lihat persentase dan jumlah gedung SD/MI dengan kondisi rusak berat di Sumatera, Jawa, Bali hasil pencacahan 2010. Provinsi Jateng, Jatim dan Jabar merupakan provinsi dengan jumlah gedung SD/MI rusak terbanyak adalah Jateng dengan persentase 24 persen, Jatim 21,05 persen dan Jabar 18,94 persen," kata Mendiknas M Nuh. Hal itu disampaikan M Nuh dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi X DPR RI dengan Kemendiknas, di ruang rapat Komisi X, Gedung DPR, Senayan, Senin (21/3/2011) malam. (detiknews.com 21/3/2011)
Seperti yang dikutip dari kompas.com menyebutkan bahwa Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR mengakui, sekolah rusak masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang belum beres. Dana yang dibutuhkan untuk merehabilitasi ruang kelas yang rusak sebesar Rp 17,36 triliun. Namun, dana alokasi khusus (DAK) tahun ini hanya Rp 10 triliun. Alokasi DAK itu pun tak bisa digunakan untuk merehabilitasi. Pemerintah daerah penerima DAK memakainya untuk membangun perpustakaan dan pengadaan sarana peningkatan mutu.(kompas.com 30/3/2011).
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dua poin penting yang diamanatkan dalam pasal 31 ayat 1 dan 2 UUD 1945 ini sepertinya belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Mengingat 20% APBN hanya untuk peningkatan gaji tenaga pengajar tanpa melihat infrastruktur. Ditambah lagi dengan kurikulum pembelajaran yang belum bisa menghasilkan siswa-siswa yang bermoral dan berkompeten sesuai yang diamanatkan pada Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang tidak hanya mengedepankan proses transfer ilmu saja tapi juga dengan pembentukan moral para stakeholder bangsa Indonesia ini.
Dengan keadaan yang masih seperti ini, Lantas bagaimana nasib pendidikan Indonesia ke depan? Jangan hanya bertopang dagu saja, saatnya kita sendiri yang merubah keadaan ini. Salah satu bentuk perlawanan kita terhadap kebodohan adalah selalu mengawasi kebijakan pemerintah yang menindas rakyat jelata! teriakkan kebenaran! untuk Indonesia yang Lebih Baik! HIDUP MAHASISWA!!!(AKN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar