Senin, 23 April 2012

Hasan Al-Banna : Wanita dan Peran Politik (1)



Hasan al-Banna dan setiap peneliti yang jujur telah menyadari dan selalu menyadari bahwa apa yang disebut dengan problematika perempuan dan hak-hak perempuan seperti yang digembar-gemborkan pada negara-negara Muslim. Terutama masalah aktivitas keluar rumah bagi perempuan dan mengabaikan kewajiban utamanya dalam mendidik generasi yang dapat membebaskan manuisa dan tanah airnya, adalah masalah yang terjadi di dunia barat. Masalah ini adalah problematika perempuan di barat ketika kaum laki-laki melepaskan mereka baik laki-laki itu adalah ayahnya sendiri, saudaranya maupun anak-anaknya.


Perundang-undangan di barat telah menetapkan masalah tersebut manakala perempuan sudah mencapai kepada usia yang dapat mengurus dirinya sendiri, mencukupi kebutuhannya sendiri sehingga ia terpaksa harus bekerja di pabrik-pabrik atau pekerjaan-pekerjaan yang bersifat umum. Akan tetapi mereka merasakan ketidakadilan ketika melakukan suatu pekerjaan yang juga dilakukan oleh kaum laki-laki karena gaji mereka tidak melebihi setengah dari gaji pekerja laki-laki tersebut. Hal ini membuat mereka berpikir untuk menuntut hak-hak mereka dan menuntut persamaan dengan laki-laki dalam hal ini.


Kemudian mereka berpikir bahwa perempuan juga ikut berpartisipasi dalam bidang manajemen pabrik atau instansi yang membuat keputusan-keputusan khususnya yang berhubgungan dengan maslah gaji, hak dan lain sebagainya. Mereka melihat bahwa hal ini hanya dapat dilakukan melalui undang-undang atau hkum. Oleh karena itu, mereka berusaha secara sungguh-sungguh agar dapat mencapai kepada lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif agar dapat memuaskan diri mereka sendiri, dan mendapatkan hak-hak mereka. Ini hanyalah sekedar teori setelah mereka melalui pergumulan yang panjang, berat dan melelahkan.
Sedangkan dalam kenyataan, seorang laki-laki tetaplah memegang kendali dalam setiap keputusan. Kaum perempuan yang telah sampai kepada jabatan-jabatan publik, kekuasan-kekuasaan publik seperti menjabat sebagai menteri maupun menjadi anggota lembaga perwakilan dan peradilan maka jumlah mereka sangat sedikit yaitu terhadap masalah-masalah yang memang dibedakan antara laki-laki dan wanita.

Penyakit ini kemudian menyebar di seluruh dunia Islam padahal kaum perempuan dalam ajaran agama Islam apabila telah sampai pada usia baligh tidak mendapat kewajiban untuk bekerja dan mencukupi dirinya sendiri atau membiayai hidupnya sendiri dari hasil kerjanya. Tetapi kaum laki-lakilah yang menanggung hidup semenjak mereka dilahirkan sampai meninggal dunia, baik pada saat menikah, sebelum menikah atau setelah menikah. Sebelum menikah wali perempuan yang berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidupnya yaitu ayahnya, saudaranya atau kerabatnya yang lain apabila tidak memiliki ayah. Setelah menikah maka suami yang memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah meskipun isteri tersebut telah berkecukupan. Kalau terjadi perpisahan dengan suami seperti cerai atau mati maka kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya pindah kepada walinya seperti saudaranya, ayahnya, anaknya atau kerabatnya yang lain.

Oleh karena itu, Hasan al-Banna selalu mempersoalkan orang-orang yang sudah terkena fitnah dengan budaya barat tersebut, yaitu budaya nikmat dan syahwat. Hasan al-Banna menolak pemikiran yang mengeluarkan perempuan dari tugas rumah tangga menuju tempat-tempat umum meskipun dengan mengorbankan pendidikan anak-anaknya.

(bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar