Hasan al-Banna dan setiap peneliti yang jujur telah menyadari
dan selalu menyadari bahwa apa yang disebut dengan problematika perempuan dan
hak-hak perempuan seperti yang digembar-gemborkan pada negara-negara Muslim.
Terutama masalah aktivitas keluar rumah bagi perempuan dan mengabaikan
kewajiban utamanya dalam mendidik generasi yang dapat membebaskan manuisa dan
tanah airnya, adalah masalah yang terjadi di dunia barat. Masalah ini adalah
problematika perempuan di barat ketika kaum laki-laki melepaskan mereka baik
laki-laki itu adalah ayahnya sendiri, saudaranya maupun anak-anaknya.
Perundang-undangan di barat telah menetapkan masalah tersebut manakala
perempuan sudah mencapai kepada usia yang dapat mengurus dirinya sendiri,
mencukupi kebutuhannya sendiri sehingga ia terpaksa harus bekerja di
pabrik-pabrik atau pekerjaan-pekerjaan yang bersifat umum. Akan tetapi mereka
merasakan ketidakadilan ketika melakukan suatu pekerjaan yang juga dilakukan
oleh kaum laki-laki karena gaji mereka tidak melebihi setengah dari gaji
pekerja laki-laki tersebut. Hal ini membuat mereka berpikir untuk menuntut
hak-hak mereka dan menuntut persamaan dengan laki-laki dalam hal ini.
Kemudian mereka berpikir bahwa perempuan juga ikut
berpartisipasi dalam bidang manajemen pabrik atau instansi yang membuat
keputusan-keputusan khususnya yang berhubgungan dengan maslah gaji, hak dan
lain sebagainya. Mereka melihat bahwa hal ini hanya dapat dilakukan melalui
undang-undang atau hkum. Oleh karena itu, mereka berusaha secara
sungguh-sungguh agar dapat mencapai kepada lembaga-lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif agar dapat memuaskan diri mereka sendiri, dan
mendapatkan hak-hak mereka. Ini hanyalah sekedar teori setelah mereka melalui
pergumulan yang panjang, berat dan melelahkan.
Sedangkan dalam kenyataan, seorang laki-laki tetaplah memegang
kendali dalam setiap keputusan. Kaum perempuan yang telah sampai kepada
jabatan-jabatan publik, kekuasan-kekuasaan publik seperti menjabat sebagai
menteri maupun menjadi anggota lembaga perwakilan dan peradilan maka jumlah
mereka sangat sedikit yaitu terhadap masalah-masalah yang memang dibedakan
antara laki-laki dan wanita.
Penyakit ini kemudian menyebar di seluruh dunia Islam padahal
kaum perempuan dalam ajaran agama Islam apabila telah sampai pada usia baligh
tidak mendapat kewajiban untuk bekerja dan mencukupi dirinya sendiri atau
membiayai hidupnya sendiri dari hasil kerjanya. Tetapi kaum laki-lakilah yang
menanggung hidup semenjak mereka dilahirkan sampai meninggal dunia, baik pada
saat menikah, sebelum menikah atau setelah menikah. Sebelum menikah wali
perempuan yang berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidupnya yaitu ayahnya,
saudaranya atau kerabatnya yang lain apabila tidak memiliki ayah. Setelah
menikah maka suami yang memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah meskipun
isteri tersebut telah berkecukupan. Kalau terjadi perpisahan dengan suami
seperti cerai atau mati maka kewajiban untuk memberikan nafkah kepadanya pindah
kepada walinya seperti saudaranya, ayahnya, anaknya atau kerabatnya yang lain.
Oleh karena itu, Hasan al-Banna selalu mempersoalkan
orang-orang yang sudah terkena fitnah dengan budaya barat tersebut, yaitu
budaya nikmat dan syahwat. Hasan al-Banna menolak pemikiran yang mengeluarkan
perempuan dari tugas rumah tangga menuju tempat-tempat umum meskipun dengan
mengorbankan pendidikan anak-anaknya.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar