Adapun pengangkatan kaum perempuan dalam jabatan-jabatan
publik seperti lembaga-lembaga peradilan, pemerintahan, menteri atau menjadi
anggota Ahli Hali wal Aqdi yang
menentukan nasib umat ini baik dalam kondisi damai maupun dalam kondisi perang,
maka Imam Hasan al-Banna tidak membolehkannya. Larangan ini dikuatkan oleh
sebuah hadits Rasulullah SAW, yaitu : “Tidak
akan berjaya suatu kaum apablia mereka mengangka seorang perempuan (untuk
mengatur) urusan mereka”.
Kaum perempuan tidak boleh untuk menjabat dalam pemerintah
daerah, urusan jihad, peradilan madhalim,
peradilan hisbah, urusan haji, kharaj
maupun jabatan-jabatan publik yang lain.
Pengambilan hukum dari hadits tersebut diatas adalah
bahwasanya Rasulullah SAW menjelaskan diharamkannya pengangkatan perempuan dalam urusan-urusan public.
Sebab kata-kata “amruhum” atau “urusan
mereka” sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fiqh termasuk dalam kata-kata
yang bersifat umum. Kata-kata ini mencakup semua urusan publik dan urusan
pribadi seperti hartanya, dirinya, pekerjaannya ataupun yang lain. Tetapi
urusan-urusan yang pribadi seperti ini tidak termasuk dalam larangan tersebut sebab
telah dijelaskan oleh dalil yang lain, yaitu diantaranya dalam firman Allah, “Bagi laki-laki ada bagian daripada yang
mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian yang apa mereka
usahakan.” (QS. An-Nisa [4]:32)
Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh
firman Allah :
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisa [4]:34).
“Qawwamah”
atau kepemimpinan dalam
masalah keluarga berada ditangan laki-laki. Masalah keluarga adalah termasuk
urusan pribadi (khusus). Apabila perempuan tidak mengatur urusan keluarga maka
bagaimana ia akan memimpin urusan umat dalam suatu jabatan publik?
Laki-laki lebih mampu daripada
perempuan bak dari segi kekuatan fisik maupun kekuatan akal. Kesimpulan ini
telah dijelaskan dalam firman Allah:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank
arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS.
An-Nisa [4]:34)
Kepemimpinan itu disebabkan oleh dua
hal : pertama, kemampuan dan kedua, infak yaitu menafkahkan sebagian dari
hartanya.
Penulis tegaskan disini bahwa
laki-laki lebih mampu daripada perempuan baik segi akal maupun kekuatan
meskipun dalam bidang-bidang yang spesifik bagi mereka seperti membuat makanan,
membuat pakaian, menjahit atau membetulkan pakaian. Sudah dimaklumi bahwa
penyaji makanan yang paling hebat di dunia adalah laki-laki dan perancang
busana perempuan yang paling baik juga laki-laki.
Dari segi penerapan juga terdapat
kesepakatan yang menjelaskan tidak adanya jabatan public yang dipegang oleh
perempuan. Sepanjang sejarah pemerintahan Islam semenjak Rasulullah SAW, zaman
Khulafaurrasyidin dan terus berlangsung sampai runtuhnya Negara Islam
Utsmaniyah tidak pernah ada satu pun dari perempuan yang ditunjuk untuk memipin
sebuah jabatan public. Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan boleh memimpin
jabatan public dan bahwasanya hal itu merupakan hak yang ditetapkan bagi
mereka, maka saya tidak tahu darimana hak itu ditetapkan. Bagaimana hak ini
ditetapkan padahal Rasulullah SAW juga tidak pernah menjelaskannya. Rasulullah
SAW juga tidak pernah menunjuk seorang perempuan pun dan memberikan hak yang
diduga ini kepadanya.
Rasulullah SAW telah memilih anggota Ahli Hali wal Aqdi kemudian umat Islam
juga memilih mereka tetapi tidak ada diantara orang-orang yang dipilih itu satu
pun seorang perempuan. Sampai dalam Bai’at Aqabah yang kedua manakala
Rasulullah SAW memerintahkan kepada mereka untuk memilih dua belas orang
pemimpin maka tidak ada seorang wanita pun di antara mereka meskipun kaum perempuan
ada diantara mereka dan ikut membai’at Rasulullah SAW.
Demikian pula ketika Rasulullah SAW
mengumpulkan umat Islam dan meminta pendapat-pendapat dari mereka dalam
berbagai peristiwa yang penting maka Rasulullah SAW tidak memanggil seorang
perempuan pun untuk diikutsertakan dalam mengambil suatu keputusan dalam perang
Uhud, perang Ahzab, perang penaklukan kota Makkah, perang Hunain dan
peristiwa-peristiwa penting yang lain.
Allahu a’lam bishowab
*)
Dirangkum dari Buku Fiqih Politik Hasan al-Banna, Bab Wanita dan Peran Politik
karangan Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar