Senin, 23 April 2012

Hasan Al-Banna : Wanita dan Peran Politik (2-habis)


Hasan al-Banna membentuk cabang-cabang khusus bagi Al-Akhwat Al-Muslimah (perempuan Muslimah). Hasan al-Banna memisahkan antara mereka dengan saudara-saudara Muslim mereka yang laki-laki. Kaum laki-laki memiliki kegiatan sendiri dan kaum perempuan memiliki kegiatan sendiri. Masing-masing dari mereka bekerja dalam bidang mereka masing-masing dalam menyebarkan misi dakwah dan pendidikan spiritual dan politik. Kaum perempuan memiliki seorang penanggungjawab bernama Labibah Ahmad. Dia yang mengarahkan mereka, menunjukkan jalan bagi mereka dan mengikuti kegiatan-kegiatan mereka melalui sebuah kepanitiaan yang mereka pimpin.


Adapun pengangkatan kaum perempuan dalam jabatan-jabatan publik seperti lembaga-lembaga peradilan, pemerintahan, menteri atau menjadi anggota Ahli Hali wal Aqdi yang menentukan nasib umat ini baik dalam kondisi damai maupun dalam kondisi perang, maka Imam Hasan al-Banna tidak membolehkannya. Larangan ini dikuatkan oleh sebuah hadits Rasulullah SAW, yaitu : “Tidak akan berjaya suatu kaum apablia mereka mengangka seorang perempuan (untuk mengatur) urusan mereka”.
Kaum perempuan tidak boleh untuk menjabat dalam pemerintah daerah, urusan jihad, peradilan madhalim, peradilan hisbah, urusan haji, kharaj maupun jabatan-jabatan publik yang lain.

Pengambilan hukum dari hadits tersebut diatas adalah bahwasanya Rasulullah SAW menjelaskan diharamkannya pengangkatan perempuan dalam urusan-urusan public. Sebab kata-kata “amruhum” atau “urusan mereka” sebagaimana dikatakan oleh para ahli ushul fiqh termasuk dalam kata-kata yang bersifat umum. Kata-kata ini mencakup semua urusan publik dan urusan pribadi seperti hartanya, dirinya, pekerjaannya ataupun yang lain. Tetapi urusan-urusan yang pribadi seperti ini tidak termasuk dalam larangan tersebut sebab telah dijelaskan oleh dalil yang lain, yaitu diantaranya dalam firman Allah, “Bagi laki-laki ada bagian daripada yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian yang apa mereka usahakan.” (QS. An-Nisa [4]:32)
Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh firman Allah :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS. An-Nisa [4]:34).
“Qawwamah” atau kepemimpinan dalam masalah keluarga berada ditangan laki-laki. Masalah keluarga adalah termasuk urusan pribadi (khusus). Apabila perempuan tidak mengatur urusan keluarga maka bagaimana ia akan memimpin urusan umat dalam suatu jabatan publik?

Laki-laki lebih mampu daripada perempuan bak dari segi kekuatan fisik maupun kekuatan akal. Kesimpulan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dank arena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa [4]:34)
Kepemimpinan itu disebabkan oleh dua hal : pertama, kemampuan dan kedua, infak yaitu menafkahkan sebagian dari hartanya. 
Penulis tegaskan disini bahwa laki-laki lebih mampu daripada perempuan baik segi akal maupun kekuatan meskipun dalam bidang-bidang yang spesifik bagi mereka seperti membuat makanan, membuat pakaian, menjahit atau membetulkan pakaian. Sudah dimaklumi bahwa penyaji makanan yang paling hebat di dunia adalah laki-laki dan perancang busana perempuan yang paling baik juga laki-laki.
Dari segi penerapan juga terdapat kesepakatan yang menjelaskan tidak adanya jabatan public yang dipegang oleh perempuan. Sepanjang sejarah pemerintahan Islam semenjak Rasulullah SAW, zaman Khulafaurrasyidin dan terus berlangsung sampai runtuhnya Negara Islam Utsmaniyah tidak pernah ada satu pun dari perempuan yang ditunjuk untuk memipin sebuah jabatan public. Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan boleh memimpin jabatan public dan bahwasanya hal itu merupakan hak yang ditetapkan bagi mereka, maka saya tidak tahu darimana hak itu ditetapkan. Bagaimana hak ini ditetapkan padahal Rasulullah SAW juga tidak pernah menjelaskannya. Rasulullah SAW juga tidak pernah menunjuk seorang perempuan pun dan memberikan hak yang diduga ini kepadanya.
Rasulullah SAW telah memilih anggota Ahli Hali wal Aqdi kemudian umat Islam juga memilih mereka tetapi tidak ada diantara orang-orang yang dipilih itu satu pun seorang perempuan. Sampai dalam Bai’at Aqabah yang kedua manakala Rasulullah SAW memerintahkan kepada mereka untuk memilih dua belas orang pemimpin maka tidak ada seorang wanita pun di antara mereka meskipun kaum perempuan ada diantara mereka dan ikut membai’at Rasulullah SAW.
Demikian pula ketika Rasulullah SAW mengumpulkan umat Islam dan meminta pendapat-pendapat dari mereka dalam berbagai peristiwa yang penting maka Rasulullah SAW tidak memanggil seorang perempuan pun untuk diikutsertakan dalam mengambil suatu keputusan dalam perang Uhud, perang Ahzab, perang penaklukan kota Makkah, perang Hunain dan peristiwa-peristiwa penting yang lain.
Allahu a’lam bishowab
*) Dirangkum dari Buku Fiqih Politik Hasan al-Banna, Bab Wanita dan Peran Politik karangan Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar