Kenapa dunia Arab hingga kini masih sulit bersatu? Penyebabnya
ideologi nasionalisme yang ditanam Prancis dan Inggris pada era
kolonialisme masih kuat bercokol dalam dada pemimpin Arab daripada
semangat pan Islamimisme. Inilah yang diingini Barat. Tujuan finalnya
adalah agar Liberalisasi diterima Arab.
Liberalisasi Islam di dunia Arab ternyata dipicu oleh paham
nasionalisme pada tahuan 1700-an. Pertama-tama tokoh nasionalis Arab
membangkitkan semangat Arabisme dan patriotisme. Gerakan disemangati
oleh ghirah memerdekakan negara dan melepaskan diri kekuasaan Turki
Utsmani.
Pada kondisi inilah dunia Arab mulai terpecah-belah, kehilangan
semangat ukhuwah Islamiyah dan mulai iming-iming modernisme Barat.
Ironinya, semangat membangkitkan nasionalisme tersebut digerakkan oleh
para penjajah Barat. Tujuannya, melemahkan semangat keislaman dan
memecah belah umat Islam di semenanjung Arab
.
Ada dua sebab mengapa dunia Arab begitu mudah menerima ideologi
nasionalisme daripada ukhuwah Islam. Pertama, penjajah Eropa
memprovokasi bangsa Arab untuk melepaskan diri dari kekuasaan Turki
Utsmani. Kedua, masuknya budaya modernisme yang dibawa penjajah.
Saat pertamakali Napoleon Bonaparte menginjakkan kaki pertama kali
di bumi Arab melalui pintu Mesir, dunia pemikiran Arab masih steril
dari Islam Liberal. Filsafat Barat belum banyak mempengaruhi para
cendekiawan Mesir dan Arab dalam membaca turats.
Para ulama’ sama sekali belum mengenal metode dekonstruksi, dan
pembacaan hermeneutika. Banyak kalangan menyebut bahwa masuknya
Napoleon pada 1798 itu sebagai tonggak pertama masuknya Liberalisasi di
dunia Arab.
Albert Hourani mencatat, Liberalisasi Islam dan kebangkitan Arab
melawan imperialism bergerak secara bersamaan di Mesir. Ketika Mesir
terpuruk dijajah Prancis di bawah komando Napoleon Bonaparte, beberapa
cendekiawan Mesir banyak terpengaruh pemikiran Barat sekular. Pemikir
Mesir yang terpengaruh berjuang dengan cara lain. Agar Arab maju dan
setara dengan Barat yang modern, maka Islam harus dimodernisasi.
Pertama kali ideologi nasionalisme Arab dibawah oleh dua sarjana
Kristen, Nasif Yezeji dan Butrus Bustani di Lebanon. Nasif dan Butrus
mempopulerkan motto: “Patriotisme adalah sebagian dari iman”. Kata-kata
yang belakangan oleh dianggap hadis Nabi itu merupakan motto yang
dibuat dua sarjana Kristen untuk membangkitkan ideologi nasionalisme.
Selain itu, Yezeji menggebar-gemborkan semangat nasionalisme Arab,
mengagungkan ras Arab dan memprovokasi untuk melakukan pemberontakan
melawan Imperium Turki Utsmani.
Sedangkan di Mesir, nasionalisme pertama kali dibawa oleh Luthfi
al-Sayyid. Luthfi adalah salah satu tokoh muda pergerakan Mesir. Ia
menolak gerakan kebangkitan Islam di dunia Arab. Islam katanya tidak
membawa kemajuan. Sebaliknya ia menganjurkan nasionalisme untuk
membangkitkan semangat kebangsaan.
Pemikirannya sekular. Ia bersama kawannya Sa’ad Zaghlul pernah mengatakan bahwa agama untuk Tuhan dan Negara untuk rakyat.
Luthfi dan Zaghlul melakukan politik nativisasi. Ia memiliki
pemikiran bahwa Arab terpisah dari Islam. ia menganjurkan kepada rakyat
Mesir untuk mencari inspirasi kebudayaan dari budaya Fir’aun bukan
budaya Arab.
Sejak nasionalisme muncul di Mesir dan Libanon, dunia Arab seperti
mendapat serangan ideologi ‘asing’ tersebut. Internalisasi ideologi ini
disokong dengan berdirinya universitas-universitas yang didirikan Barat
di Negara Arab. Seperti American University of Beirut di Libanon.
Kampus Amerika di Libanon ini berfungsi sebagai satelit Barat.
Tujuannya, mengawasi gerakan kebangkitan Arab dan melakukan
liberalisasi pemikiran terhdap muslim Arab.
Mulanya kampus ini adalah pusat missionaris dengan nama Syirian
Protestant College, didirikan pada tahun 1866. Namun, belakangan
mengubah nama dan mendukung secara politis gerakan nasionalisme di
Lebanon.
Para mahasiswa muslim yang kuliah di perguruan Tinggi tersebut
didoktrin paham nasionalisme dan sekularisme. Mereka diajarkan bahwa
kebangkitan bangsa Arab itu bukan dengan Islam tapi dengan semangat
nasionalisme.
Gerakan Arabisme dan mengunggul-unggulkan ras Arab sesungguhnya
disokong kolonialis bukan untuk membangkitkan bangsa Arab dari
keterpurukan. Akan tetapi di balik itu, kolonialis melakukan politik
devide et impera (politik adu domba). Bangsa Arab oleh Prancis
diprovokasi untuk melawan Turki yang bukan Arab. Mereka digerakkan
untuk memberontak kepada Turki Utsmani.
Politik adu domba penjajah Eropa berhasil membakar para pemimpin
Arab. Satu persatu Negara-negara Arab melepaskan loyalitasnya kepada
kekhalifahan Turki. Akibatnya hubungan Sultan Truki dengan para
pemimpin Arab renggang.
Akibat berikutnya, justru semangat nasionalisme menjadikan
Negara-negara Arab berjuang sendiri-sendiri melawan penjajah. Tidak ada
lagi ras persaudaraan membantu Negara arab lain. Masing-masing sibuk
mengurusi negaranya sendiri-sendiri. Luthfi al-Sayyid mengatakan “Kita
tidak lagi smpati pan-Islamisme”.
Dalam kondisi terkotak-kotak itulah, internalisasi ideologi asing
dilakukan kolonialis. Sementara pada decade berikutnya Zionis Israel
menguat di Palestina. Dalam pikiran para nasionalis dan tokoh pro
demokratisme tertanam pemikirian bahwa bahwa untuk maju dan mengusir
Israel bangsa Arab perlu meniru peradaban Barat.
Para tokoh nasionalis seperti telah terjebak dalam jaring-jaring
pemikiran Barat yang sengaja digelar para penjajah. Dr. Zurayk, mantan
dubes Syiria dalam buku The Meaning of Disaster menulis: …”Harus ada
masyarakat baru yang mengadakan revolusi cara berpikir dan bertindak,
masyarakat Arab harus demokratis dan lebih dari itu berpikir lebih
maju”.
Zurayk juga meniru pendahulunya Luthfi dan Zaghlul. Ia mengatakan
bahwa pengaruh Islam harus dihilangkan sama sekali dari Negara serta
menganjurkan untuk mengambil aspek-aspek spiritual, intelektual dan
material dari peradaban Barat.
Pemikiran-pemikiran Zurayk, Luthfi al-Sayyid dan Zaghlul inilah yang
lebih lanjut dikembangkan oleh pemikir liberal, seperti Nasr Hamid Abu
Zayd, Hassan Hanaffi, Muhammad Syahrour, Ali Abdul Raziq dan lain-lain.
Berkenaan dengan merusaknya ideologi nasionalisme bagi dunia Arab,
Maryam Jameelah menganjurkan kepada pemuda-pemuda Arab agar
meninggalkan slogan nasionalisme. Menurut Jameelah, slogan nasionalisme
Arab adalah selundupan missionaris Kristen, Zionisme dan imperialisme
Inggris dengan tujuang untuk memecah belah dunia Islam dan memisahkan
Arab dari Islam.
Kenyataannya memang lanjut Jameelah, usaha-usaha pembebasan
Pelestina di bawah slogan nasionalisme ternyata berakhir dengan
kegagalan. Seperti halnya yang terlihat sampai saat ini.
sumber :
http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/kholili-hasib-m-a-nasionalisme-pemicu-masuknya-liberalisme-di-dunia-arab.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar