Senin 28/11/2011, sebagian Warga Mesir terlihat mulai berduyun-duyun
mengantri di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS). Mereka berbaris
untuk memberikan suaranya dalam pemilu pertama sejak revolusi Mesir
sekaligus membuka jalan demokrasi di negara Arab yang berpopulasi
penduduk terbanyak.
Sepuluh bulan setelah berakhirnya kekuasaan rezim Mubarak selama 30
tahun akibat desakan demonstrasi dalam Revolusi Arab, sekitar 40 juta
penduduk Mesir terdaftar dalam pemilu untuk memilih anggota parlemen.
Namun akankah dengan Sistem Parlementer (Demokrasi), kelak Mesir akan
tegak berdiri dalam kejayaan cahaya Islam?
Selepas Perang Dunia I, paham berhaluan Barat melakukan penetrasi
cukup hebat di Mesir. Kebangkitan nasionalisme di Dunia Islam mencapai
puncaknya dengan penggulingan sistem Khilafah Islam Utsmaniyah di Turki
oleh Kamal Attaturk. Fenomena ini berlangsung ketika Hasan Al Banna
tengah belajar di Darul Ulum. Di dalam catatannya, ia mengekspresikan
kebimbangannya,
“Hanya Allah yang mengetahui sudah berapa malam kami
berbincang-bincang mengenai kondisi negara dan hubungannya dengan
segenap lapangan hidup rakyat, apa dampak dari penyakit masyarakat dan
bagaimana mengatasinya. Kami berbincang dengan penuh perasaan hingga
meneteskan air mata. Sebelum mengambil satu keputusan, kami berbicara
panjang lebar. Namun, alangkah terkejutnya kami ketika membandingkan
keadaan ini dengan mereka yang tidak memikirkannya sama sekali, dan
justru asyik bersenang-senang di kedai kopi.” (The Moslem Brethren, Ishak Musa Husaini)
Para ulama yang ada kurang berdaya menahan serangan kelompok
modernis; atau—barangkali—baru sebatas melabeli mereka dengan
kemurtadan. Lebih malang lagi, ada sekelompok orang yang digelari
“ulama” demi memuaskan rezim penguasa terlalu mudah berkompromi dalam
aspek prinsip-prinsip agama. Hingga sebagian “ulama” Kairo jatuh ke
lembah kehinaan ketika menyetujui fatwa Syaikh Al-Azhar bahwa Raja
Farouk layak memerintah dan layak digelari sebagai Khalifatul Mu'minin
dengan alasan ia adalah seorang muslim dan termasuk keturunan
Rasulullah.
Masih dalam catatan yang sama, Hasan Al Banna mengakui bahwa
keputusan mendirikan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah follow-up dari
perhatiannya terhadap berbagai fenomena di atas yang begitu
memprihatinkan. Selepas belajar di Darul Ulum, Hasan Al Banna
mendirikan Ikhwanul Muslimin, tepatnya pada 1928. Ia bercita-cita untuk
mendirikan satu harakah islamiah yang syumul (komprehensif), yang akan
mempraktikkan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh aspek kehidupan,
termasuk politik, ekonomi, dan sosial.
Setiap anggota IM diminta melakukan baiat atau sumpah setia. Mereka
bersumpah untuk melindungi saudara-saudara IM sekalipun dengan
mengorbankan nyawa mereka sendiri, di samping meletakkan kepercayaan
dan ketaatan dengan lapang dada terhadap pemimpin mereka, selama
sejalan dengan Alquran dan Sunnah.
Hasan Al Banna mengetahui dengan rinci anggota-anggota yang aktif
dan tsiqah (terpercaya). Mereka diminta untuk merekam amal yaumi
mereka, termasuk hafalan Al-Qur'an, kehadiran dalam shalat berjamaah,
serta berbagai pelajaran agama. Mereka pun diajari menggunakan
bermacam-macam senjata dan pertolongan darurat. Pada akhir pengajaran,
mereka akan dievaluasi.
IM menekankan pentingannya takwinul jama’ah (pembentukan
jamaah) secara bertahap. Sebuah harakah perlu dukungan umat yang kuat
sebelum dapat menggantikan penguasa yang ada. Khalayak mestilah diajari
dengan cukup prinsip-prinsip perjuangan Islam. IM juga berpendapat
bahwa kekuatan perlu digunakan ketika semua cara lain gagal. Namun,
pada berbagai ucapan dan tulisannya, Hasan Al Banna memang sempat
menafikan bahwa IM hendak melakukan revolusi berdarah.
Meski demikian, di antara ciri menonjol IM adalah penekanannya yang
kontinyu akan urgensi jihad. Pada masa awal berdirinya, jihad yang
diajarkan oleh IM ialah jihad yang dipahami oleh setiap muslim yang
lurus pemahamannya, yaitu jihad yang dibangun atas dasar wala’ dan bara’;
bukan konsep jihad yang direka-reka oleh kaum modernis-sekuler. IM
menganggap bahwa ibadah dan amal saleh seorang muslim belum cukup
berarti jika ia masih enggan untuk mengorbankan jiwanya demi
mempertahankan Islam. Mestilah ia bersedia untuk syahid, semata-mata
karena cinta Allah dan rindu akhirat.
IM memompa semangat jihad dengan cara menggalakkan pemuda Islam
melakukan latihan olah fisik untuk persiapan perang. Akhirnya, mereka
menumbuhkan unit tentara mereka sendiri untuk mempertahankan harakah
apabila diperlukan. Ini sesuai dengan simbol jamaah mereka yang
bertuliskan: Wa a’iddû (‘Dan persiapkanlah oleh kalian’), serta salah satu motto Jamaah: Syahid Asma’ Amanina (Syahid Cita-cita kami tertinggi’).
Berkali-kali Hasan Al Banna mengajak masyarakat agar berjihad
menumpas penjajah Inggris dan mengusir mereka selama-lamanya dari
Mesir. Ia menolak bekompromi dan tidak mempercayai pendapat dan pikiran
bahwa masalah ini dapat diselesaikan melalui perundingan. Pada Perang
Palestina 1948, pasukan sukarelawan IM adalah pasukan yang paling
berani berperang di pihak Arab. Ketika PBB mengeluarkan akta kelahiran
berdirinya negara Zionis di Palestina, Hasan Al Banna menyerukan kepada
seluruh negara di Dunia Islam untuk meninggalkan PBB dan berjihad
melawan Yahudi.
Sementara itu di dalam negeri, Hasan Al Banna dan para pengikutnya
dengan lantang menyuarakan bahwa Islam sajalah solusi dari semua
masalah yang dihadapi Mesir. IM mendeklarasikan diri akan mendirikan
masyarakat dan Daulah Islamiah di mana Syariat Islam menjadi
undang-undang negara. Hasan Al Banna berkata,
“Kita tidak akan berdiam diri dan bersenang hati atau berhenti
hingga Al-Qur'an benar-benar menjadi perlembagaan negara. Kita akan
hidup untuk mencapai tujuan ini atau mati dalam usaha melaksanakannya.”
Jadi memang tujuannya jelas, menegakkan Islam dalam pemerintahan.
Tidak lagi malu-malu bahkan menghindari pembicaraan tentang sebuah
Daulah Islamiyah. Entah khawatir dituduh teroris atau alih-alih
menggabungkan Al Qur'an dengan konstitusi jahiliyah. Kenyataan
mengambil setengah-setengah dalam perkara hukum ini pernah ia kecam
dalam pidatonya.
"Setiap bangsa Islam mempunyai undang-undang yang sifatnya
universal, yaitu al-Qur’an. Seharusnya mereka mengambil hukum-hukum
negara dari sumber tersebut. Atau dengan kata lain setiap bangsa yang
menggunakan undang-undang Islam, maka harus meletakkan bendel-bendel
hukum lainnya sesuai dengan Islam juga. Dan setiap napas yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam wajib dibuang, sehingga tidak timbul kontradiksi di dalam undang-undang negara "(Pidato dan Surat-Surat Hasan Al-Banna, Penerbit Risalah hlm 142)
Salah satu statemen Hassan Al Banna tentang prinsip IM dalam
bernegara adalah supaya undang-undang Islam dijalankan sepenuhnya di
mana pemerintah dan rakyat tunduk kepada syariat Allah . Dalam soal
ini, ia mengatakan,
“Al-Ikhwan Al-Muslimun memiliki sikap bahwa Islam mempunyai
implikasi yang signifikan dan menyeluruh. Islam mengawal semua tingkah
laku individu dan masyarakat. Segala sesuatu mesti tunduk di bawah
undang-undang-Nya dan mengikuti ajaran-Nya. Siapa yang tunduk kepada
Islam dari segi peribadatan saja tetapi meniru orang kafir dalam segala
hal lain dapat dianggap sama derajatnya dengan orang kafir.”
Di dalam jawaban kepada salah seorang pemimpin politik di zamannya,
Hasan Al Banna juga berkata, “Kami mengajak Anda kepada Islam, ajaran
Islam, undang-undang Islam dan petunjuk Islam. Kalau ini Anda anggap
politik, maka inilah politik yang kami perjuangkan.”
Bahkan, Al Banna berani menyerukan pembubaran segenap partai politik
termasuk sistem parlemen, karena lebih menghasilkan keruntuhan moral
dan perebutan kekuasaan daripada perbaikan. Al Banna dan para
pengikutnya melihat bahwa tidak satu pun partai politik Mesir di zaman
Raja Farouk benar-benar ingin melaksanakan syariat Islam. Adapun IM
bercita-cita untuk mendirikan sebuah negara Islam Mesir yang kuat dan
menggantikan segenap partai yang ada. Demikian tegas sikap IM pada masa
awal berdirinya. Bahkan, jamaah ini mensyaratkan siapa saja yang ingin
menjadi anggotanya untuk berhenti dari keanggotaan partai politik yang
ada di Mesir pada era Raja Farouk. (Bandingkan dengan mereka yang
menisbatkan diri kepada IM hari ini!)
Benih perjuangan pemikiran Hasan Al Banna itu tampaknya dilanjutkan
secara serius oleh Sayyid Quthb. Ideolog kedua Ikhwan ini sangat
menitikberatkan Syariat Islam dan Jihad sebagai jalan juang ketimbang
mengagung-agungkan sistem parlementer. Bahkan Sayyid Quthb meminta umat
Islam untuk mengintropeksi status keIslamannya jika ia masih saja
menempuh jalan diluar Islam sebagai cara menegakkan Dienullah ini,
seperti yang terjadi di Mesir saat ini. Dalam kitabnya Ma’alim
Fiththariqh, ia menulis
“Tidaklah termasuk masyarakat Islami, masyarakat yang mewadahi
orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai ‘kaum muslim’, sementara
Syariat Islam tidak menjadi undang-undang (qanun) masyarakat tersebut
meski mereka menunaikan shalat, puasa, dan haji ke baitullah…. Kita
tidak akan mampu sampai pada konsepsi rabbani dan juga mencapai
kehidupan rabbani, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang
rabbani.”
Buku Ma’alim Fiththariqh sendiri pada akhirnya menjadi rujukan para
ikhwan dalam hal al wala’ wal bara’ kepada pemerintah dan sistem
parlementer. Mengenai hal ini, Abu Mushab As Suri memiliki pengalaman
menarik untuk menguatkan thesis tersebut. Pada tahun 1989, pernah salah
seorang instruktur Ikhwanul Muslimin Yordania di Amman bercerita
kepadanya. Ketika IM Yordania memutuskan untuk masuk dalam parlemen dan
kabinet, yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif ada di sisi
raja Hussein. Hal ini tentu membuat kegoncangan tersendiri pada diri
Ikhwan tersebut karena selama ini Ikhwan telah menjadikan buku Sayyid
Quthb sebagai rujukan yang memang tidak membuka peluang untuk mengakui
sistem buatan manusia sebagai jalan perjuangan. Dengarlah penuturan
instruktur Ikhwan tersebut kepada Abu Mushab.
“Saya bergabung dengan IM, pada awal tahun 1970-an. Saya diminta
untuk meyakini bahwa Raja Hussein kafir karena ia memerintah dengan
bukan hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah. Buku rujukan utama
kami pada waktu itu adalah Ma’alim fiththariqh sebelumnya saya sudah
membaca sebagian buku-buku tafsir. Disana saya menemukan pendapat
sebagain tabi’in tentang masalah itu yang mengistilahkan kufr duna kufr
(perbuatan kufr, tapi tidak mengeluarkan seseorang dari agama atau kufr
kecil).
“Dengan dasar itu, saya pikir Raja Hussein tetap muslim, cuma
fasik dan zalim, serta tidak kafir. Setelah pendapat saya diketahui
Ikhwanul Muslimin, saya diadili oleh pengadilan Ikhwan. Mereka memberi
tempo pada saya untuk mengubah pandangan saya akan tetap Islamnya
status Raja Hussein. Atau jika saya tidak mau, saya dikeluarkan dari
Ikhwan. Pada saat penantian itu, status keanggotaan saya dibekukan.
“Saya pun merenungkan hal itu, dan Allah tunjukkan diriku
seperti pandangan mereka. Saya pun menyatakan kekafiran Raja Hussein
dan status keanggotaan saya diaktifkan kembali. Selang beberapa tahun,
saya menjadi instruktur Ikhwanul Muslimim dan saya ajarkan kepada para
pemuda dalil-dalil kekafiran Raja Hussein, baik yang saya nukil dari
buku Ma’alim Fiththariqh maupun buku-buku lain.” Subhanallah.
IM tak hendak berkuasa untuk kepentingan sendiri, bahkan mereka
berjanji berulang kali untuk menyokong siapa yang memerintah, asalkan
undang-undang Islam dijalankan. Namun, hal ini ditolak mentah oleh
diktator militer yang baru berkuasa. Presiden Gamal Abdul Nasser pernah
menyatakan,
“Saya telah bertemu dengan Mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin yang
telah mengajukan beberapa tuntutan kepada saya. Hal pertama yang ia
kehendaki adalah semua wanita diwajibkan menutup aurat. Ia juga
mendesak supaya semua bioskop dan tempat pementasan ditutup. Dengan
kata lain, ia ingin agar hidup kita gelap dan mendung. Tentulah hal ini
mustahil untuk kita laksanakan.”
Percobaan pembunuhan terhadap Nasser pada Desember 1954 menjadi
alasan yang ditunggu-tunggu oleh pemerintah untuk memberangus IM. IM
dituduh melakukan penembakan itu walaupun IM berkali-kali menafikannya.
Beribu-ribu anggota IM ditangkap, dipenjara, dan enam orang digantung.
Protes dari Dunia Islam tidak diladeni. Dua belas tahun selepas
peristiwa itu, yaitu pada tahun 1961, IM sekali lagi dituduh sebagai
penyebab kegagalan dan kemunduran negara. (pz/dbs)
sumber : http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/ketika-hasan-al-banna-menolak-sistem-parlementer.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar